
TANJUNG – Pengurus Kapal Cepat Indonesia (Akacindo) mengaku masih trauma untuk melakukan kerja sama bisnis dengan Koperasi Karya Bahari (KKB). Pasalnya pernah menjadi incaran aparat penegak hukum (APH).
Hal ini diungkapkan Ketua Akacindo I Wayan Sudana pada saat hearing ke DPRD KLU, Senin (21/8). “Kerja sama itu bikin kami trauma. Kami dipanggil-panggil sampai disidik (APH). Kami sudah memberi (mendatangkan wisatawan dari Bali), kami malah disidik. Padahal kami datang berusaha hitungannya untung rugi bukan untuk dipanggil secara hukum,” ujarnya.
Wayan pun membantah isu yang selama ini kerap beredar di berbagai kalangan bahwa Akacindo arogan sebab tidak pernah mau diajak untuk koordinasi termasuk dengan KKB. “Kami masih dalam posisi trauma. Kami datang berbisnis tetapi dinarasikan seolah-olah kami bikin masalah,” jelasnya.
Pada prinsipnya kata Wayan pihak Akacindo sendiri siap bekerja sama dengan siapa pun dalam penerapan one gate system atau one gate payment. Hanya saja harus ada dasar yang jelas agar bisa dipertanggungjawabkan di kemudian hari. “Yang jelas kami tidak ingin buat masalah dan tidak ingin mencari masalah,” jelasnya.
One gate system adalah sistem satu pintu penyebarangan dari Bali ke Gili dengan terlebih dahulu melalui Pelabuhan Bangsal. Lalu dari Bangsal, wisatawan diangkut armada KKB ke Gili. Sementara one gate payment, adalah sistem pembayaran satu pintu. Wisatawan cukup membayar sekali untuk tiket kapal, retribusi masuk Gili dan lainnya. Di mana dalam hal ini direncanakan kerja sama juga dengan KKB.
Sementara itu Ketua KKB, Sabaruddin tetap menuntut adanya kerja sama bisnis dengan Akacindo seperti yang pernah terjalin sebelumnya. Diungkapkan, kerja sama dengan Akacindo dimulai pada 2006. Saat itu pihak kapal cepat awalnya datang coba-coba membawa orang mancing dari Bali ke Gili Trawangan. Namun karena melihat ada peluang menjanjikan, akhirnya kapal cepat terus-terusan membawa penumpang ke Gili Trawangan. “Saat itu kami stop kapal cepat membawa penumpang dari Bali ke Gili. Kita minta harus melalui Bangsal dulu,” ungkap Sabaruddin.
Setelah dilarang, beberapa pihak kapal cepat datang menemui KKB untuk merayu supaya bisa bekerja sama. Bahkan mereka sanggup membayar kompensasi kepada anggota KKB sebesar Rp 100-200 ribu per orangnya.
Kemudian praktik pembayaran kompensasi tersebut berjalan selama beberapa tahun. Dan begitu terjadi erupsi Gunung Agung sekitar tahun 2018, maka pihak kapal cepat datang bernegosiasi dengan KKB. Saat itu mereka meminta keringanan. Nominal Rp 200 ribu dianggap terlalu mahal. “Mereka kemudian meminta Rp 20 ribu dan itu disepakati dalam bentuk kerja sama,” ucapnya.
Hanya saja kerja sama ini juga berlangsung tidak lama. Sebab begitu ramai pemberitaan soal operasi tangkap tangan (OTT), pihak kapal cepat tidak lagi memberi kompensasi kepada KKB. Ditambah lagi dengan adanya pandemi covid-19.
“Saat itu saya sebagai ketua membolehkan mereka tidak membayar dengan syarat ada surat pemberitahuan biar ada dasar kami memberitahukan anggota. Itu kemudian dipenuhi,” ucapnya.
Untuk itu selama pandemi covid-19 pihak kapal cepat tidak lagi memberikan kompensasi kepada KKB. Nah begitu pandemi covid-19 selesai, KKB menagih kembali kompensasi. Hanya saja pihak kapal cepat tidak lagi menanggapi. “Mereka mempertanyakan apa dasarnya (dasar hukum). Mereka lupa kerja sama yang pernah terjalin,” bebernya.
Untuk itu Sabaruddin mendesak pemda supaya menjembatani KKB dengan pihak kapal cepat, baik yang masuk dalam anggota Akacindo maupun yang tidak untuk bisa bekerja sama. “Polanya kami serahkan ke pemda,” ungkapnya.
Sementara itu, Kepala Dinas Perhubungan Provinsi NTB Lalu Moh. Faozal mengatakan pihaknya bersama Dinas Perhubungan KLU akan memfasilitasi KKB dengan Akacindo guna menemukan pola kerja sama yang baru.
“Supaya ini bisa selesai maka kami akan sharing regulasinya supaya teman-teman KKB tidak bermasalah dengan hukum, begitu juga dengan Akacindo,” ujarnya.
Pihaknya dalam waktu dekat ini kata Faozal akan mengadakan pertemuan dengan para pihak terkait ini untuk membahas pola kerja sama terbaru. “Kami rencana Kamis hingga Jumat melakukan pertemuan,” pungkasnya.
Ketua DPRD KLU, Artadi mengapresiasi langkah yang diambil Dinas Perhubungan Provinsi NTB tersebut. Ia pun meminta agar pertemuan selanjutnya, pengurus KKB dan pengurus Akacindo serta pengusaha kapal cepat yang belum masuk anggota Akacindo hadir tanpa terkecuali. “Tidak boleh berwakil harus yang bisa mengambil keputusan yang hadir. Kita tidak ingin masalah ini berlarut-larut,” tutupnya. (der)