MATARAM – Pimpinan DPRD Provinsi NTB beberapa hari lalu telah berangkat ke Jakarta untuk mempertanyakan Kementerian Keuangan terkait penundaan penyaluran Dana Alokasi Umum (DAU) sebesar Rp 161 miliar.
Hasilnya, penundaan tersebut lebih cocok disebut pemangkasan karena tidak ada jaminan akan dibayar oleh negara. Parahnya lagi, besar kemungkinan akan ada rasionalisasi anggaran kembali yang membuat NTB terancam menjadi korban kembali. Wakil Ketua DPRD NTB, Mori Hanafi yang ikut dalam rombongan tersebut mengungkapkan, pemangkasan anggaran tahap ketiga akan dilakukan lagi oleh pemerintah pusat jika target tax amnesty tidak tercapai. “Ini katanya akan ada lagi pemangkasan tahap ketiga, bahaya kalau benar-benar dilakukan,” ujarnya saat ditemui di ruang kerjanya, Jumat kemarin (9/9).
Politisi Partai Gerindra ini berharap rencana tersebut jangan sampai merugikan pemerintah daerah. Apalagi jika harus kembali mengurangi dana yang merupakan jatah daerah. Pasalnya, rasionalisasi anggaran yang mengorbankan jatah NTB sebesar Rp 161 miliar saja telah membuat keuangan daerah terancam.
Pemangkasan DAU untuk Provinsi NTB yang dilakukan pemerintah pusat lebih menunjukan ketidakprofesionalan Kementerian Keuangan. Sebab, alasan pemangkasan dikarenakan adanya dana yang mengendap tidak relevan. “Terus lagi mau wacanakan rasionalisasi anggaran, sekarang saja pingsan kita dibuatnya tidak bisa bergerak," ucap Mori.
Cara Kemenkeu melihat daerah yang layak dipangkas anggarannya menurut Mori sangat tidak profesional. Kemenkeu hanya melihat berdasarkan Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (Silpa) yang masih besar dan penyerapan anggaran yang rendah.
Akibatnya, Provinsi NTB menjadi korban atas ketidakcermatan tersebut. Silpa dalam APBD 2015 sekitar Rp 149 miliar, namun Silpa yang besar dan belum terserap tersebut merupakan dana milik kabupaten/kota mencapai Rp 90 miliar yang belum disalurkan.
Dalam konteks ini, ia tidak menyalahkan Pemprov atas keterlambatan tersebut. Disinilah kesalahan Kemenkeu yang hanya melihat data secara sekilas saja. "Itu dana bagi hasil, memang dari tahun ke tahun bagi hasil ke kabupaten/kota itu dibagi pada Januari, bukan bulan Desember akhir tahun sehingga terhitung sebagai Silpa,” terangnya.
Atas pemangkasan DAU tersebut, pihaknya telah mengajukan nota keberatan. Selain itu, terdapat juga 20 daerah yang mengajukan hal sama terhadap pemangkasan DAU. “Sekarang lihat, kita yang kebingungan rasionalisasikan anggaran di daerah, KUA-PPAS (Kebijakan Umum Anggaran dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara) saja jadinya belum kita tandatangani,” ujar Mori.
Sampai saat ini, KUA-PPAS APBD Perubahan 2016 belum bisa ditandatangani. Ia sendiri selaku salah satu pimpinan Badan Anggaran (Banggar) sangat berhati-hati dalam menganila KUA-PPAS.
Penandatanganan KUA-PPAS akan dilakukan apabila semuanya sudah clear. Oleh karena itu, belum bisa dipastikan jadwal penandatanganannya meski saat ini sudah tergolong sangat molor.
Sementara itu, Ketua Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) H Rosiady Sayuti menggakui, Provinsi NTB terkena pemangkasan karena keterlambatan melakukan penyaluran dana ke Kabupaten/Kota. Akibatnya, Silpa tahun anggaran sebelumnya dianggap besar.
Rosiady sendiri yakin pemangkasan ini hanyalah penundaan penyaluran saja sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Sri Mulyani. Apabila DAU sebesar Rp 161 miliar tersebut nantinya tidak dibayar, maka pihaknya akan melakukan protes dan tetap menagih Kemenkeu. “Kita akan tagih sampai tahun 2017 tidak dibayar,” tegasnya. (zwr)