9 Persen Warga Ingin Ubah Pancasila

Saiful Mujani

JAKARTA – Isu kebinekaan dan Pancasila sedang laris dibicarakan. Sampai-sampai, Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) tertarik untuk membuat survei tentang sikap warga negara terhadap keutuhan NKRI dan Pancasila. Hasilnya, memang ada yang ingin mengubah ideologi negara meski jumlahnya sangat kecil.

Secara terperinci, hasil survei itu menyebutkan bahwa 99 persen masyarakat mengaku bangga menjadi warga negara Indonesia. Bahkan, 62,5 persen di antara mereka mengaku sangat bangga.

Kebanggaan tersebut berbanding lurus dengan loyalitas kepada negara. Itu ditunjukkan dengan angka 84,5 persen responden yang siap berkorban demi menjaga keutuhan NKRI. ”Ada kesediaan untuk mempertahankan negara. Hampir 9 dari 10 penduduk kita bersedia,” kata Saiful Mujadi di kantor SMRC, Jakarta, Minggu kemarin (4/6).

Meski demikian, tak berarti ancaman itu tidak ada. Sebab, ada juga masyarakat yang menghendaki perubahan dasar negara. Yakni, mengubah Pancasila dan UUD 1945 menjadi negara Islam. ”Sembilan persen itu artinya 20 jutaan, lebih banyak dari penduduk Singapura,” tuturnya.

Baca Juga :  PT. Amerta Indah Otsuka mengadakan “MEDICAL DISCUSSION WEBINAR 2021” bagi para Dokter se-Indonesia.

Saiful mengatakan, munculnya keinginan sebagian orang untuk berubah haluan menjadi negara Islam disebabkan banyak hal. Di antaranya, akibat melihat kinerja pemerintahan yang tidak kunjung memuaskan. Akhirnya muncul ide untuk mencoba alternatif ideologi lain.

Rais Syuriah PB NU KH Masdar Farid Mas’udi mengatakan, tingginya loyalitas masyarakat kepada negara menunjukkan kedewasaan dalam mendefinisikan keterkaitan agama dengan negara. Menurut dia, dalam sejarah Rasulullah, tidak ada perintah langsung menjadikan Islam sebagai negara. ”Bicara soal negara intinya keadilan. Soal bentuknya seperti apa, itu persoalan lain,” ujarnya.

Dia menjelaskan, khilafah dalam Alquran adalah memerintah manusia di bumi untuk memakmurkan dan menegakkan keadilan. Hal itu sebagaimana yang disampaikan kepada Nabi Adam dan Daud. ”HTI dan khalifah ISIS ini memang anomali. Ini sebenarnya merujuk ke mana?” tuturnya.

Sekjen PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti menambahkan, hasil survei tersebut memang memotret kondisi psikologis masyarakat Indonesia hari ini. Isu seperti negara Islam maupun teror hanyalah angin lalu bagi mayoritas masyarakat.

Baca Juga :  Jadwal Pengumuman Kelulusan PPPK Guru Tahap 2 Berubah Lagi

”Di Inggris ada teror pada takut. Kita, ada bom Thamrin malah selfie. Polisi-TNI sibuk sendiri, rakyat yang nonton,” ujarnya.

Sebaliknya, yang riil ditakutkan masyarakat Indonesia saat ini adalah kepastian akan hak-hak dasar seperti kesejahteraan, pendidikan, atau kesehatan. ”Pedagang asongan itu lebih takut sama satpol PP dibanding teror waktu bom Thamrin,” tuturnya.

Mantan Rektor UIN Jakarta Azyumardi Azra menyampaikan hal serupa. Dia yakin Indonesia tidak akan mengalami peristiwa seperti Syria atau Pakistan. Sebab, corak keislaman di Indonesia sangatlah berbeda. Namun, kewaspadaan harus tetap dibangun. Salah satu caranya adalah menguatkan peran NU dan Muhammadiyah.

”Harus direbut mimbar di masjid. Jangan sampai diberikan kepada orang yang gemar menanamkan kebencian,” tuturnya.

Sementara itu, akademisi Universitas Indonesia Tamrin Amal berharap selain peran ormas Islam, peran negara dalam mengantisipasi penyebaran paham radikal perlu dilakukan. Diakui atau tidak, paham semacam itu sudah masuk ke semua lini, mulai pemerintahan hingga pendidikan. (far/c10/fat)

Komentar Anda