330 Ribu Lulusan Perguruan Tinggi Kesehatan Gagal Bekerja

Pwrwakilan APTISI bersama perwakilan pimpinan Yayasan dan pimpinan Perguruan Tinggi Swasta bersama anggota DPR RI. (Ist)

JAKARTA — Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI) bersama lebih dari 200 orang perwakilan pimpinan Yayasan dan pimpinan Perguruan Tinggi Swasta dari seluruh wilayah Indonesia memberikan masukan-masukan terkait permasalahan yang kini tengah dialami perguruan tinggi swasta (PTS) di Indonesia.

Berbagai masukan tersebut disampaikan dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Komisi X DPR RI dengan APTISI, di Gedung Nusantara I, Senayan, Jakarta, Senin (30/5/2022).

Hadir dalam kegiatan tersebut antara lain, Ketua Umum APTISI Budi Djatmiko, Ketua Dewan Pembina APTISI Marzuki Alie, serta perwakilan Himpunan Perguruan Tinggi Kesehatan Swasta (HPTKes) Indonesia Zainal Abidin. Sementara, RDPU dipimpin Ketua Komisi X DPR RI Syaiful Huda dan perwakilan fraksi partai di DPR Komisi X.

Dalam paparannya, Ketua APTISI Budi Djatmiko mengatakan bahwa hingga saat ini ada lebih dari 330 ribu lulusan perguruan tinggi kesehatan yang tidak bisa bekerja sebagai tenaga kesehatan. Penyebabnya, ada syarat uji kompetensi yang dalam pelaksanaannya dinilai melanggar undang-undang.
“Untuk uji kompetensi mahasiswa kesehatan seluruh Indonesia, kami sekarang masih ada 330 ribu lulusan PT kesehatan yang tidak bisa bekerja dikarenakan mereka belum lulus uji kompetensi,” kata dia dalam siaran pers yang diterima media ini.

Padahal, Budi melanjutkan, bahwa sesuai dengan UU Nomor 12 Tahun 2012 pada Pasal 44, uji kompetensi seharusnya dilakukan oleh perguruan tinggi (PT) bersama lembaga tersertifikasi dan/atau organisasi profesi. Tetapi kenyataannya malah dilakukan oleh komite yang dibentuk oleh Dikti.
“Jadi jelas-jelas itu melanggar undang-undang karena di dalamnya ratusan miliar tiap tahun mengalir dan celakanya dipungut oleh PTN. Sedangkan, pemahaman kami jika ada lembaga yang memungut uang masyarakat itu harus seizin DPR,” tuturnya.

Baca Juga :  Miryam Jadi Buronan KPK

Akibatnya, masalah tersebut turut memengaruhi minat calon mahasiswa untuk masuk ke PT kesehatan di mana peminatnya terus berkurang setiap tahun.

Selain itu, Budi juga menyoroti materi uji kompetensi yang dilaksanakan juga tidak tepat. Standarnya, ada tiga ranah pengujian yaitu psikomotorik, afektif, dan kognitif. “Nah yang dilakukan hanya satu ranah kognitif saja itu sudah jelas salah,” ucapnya.

Oleh karena itu, APTISI meminta agar sistem ini segera diperbaiki. Apalagi anggaran negara yang mengalir juga sangat besar dan bahkan harus diusut karena sudah lama dibiarkan. “Saya minta ini harus diusut KPK karena ini uangnya enggak jelas. Ini sudah berapa tahun? Sudah 10 tahun,” cetusnya.

Perwakilan HPTKes Zainal Abidin menambahkan, pelaksanaan uji kompetensi oleh Komite Nasional Uji Kompetensi agar segera dihentikan dan dikembalikan kepada PT sebagaimana yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. “Dari lima undang-undang dan dua peraturan pemerintah, semuanya mengamanatkan uji kompetensi itu untuk mahasiswa diserahkan kepada perguruan tinggi bekerja sama dengan organisasi profesi atau lembaga sertifikasi yang terakreditasi. Hari ini, menteri membentuk komite dengan keputusan menteri itu memenggal kewenangan yang sudah diatur. Maka kami menuntut, mengamanatkan kepada perguruan tinggi untuk melakukan uji kompetensi ini,” tuturnya.

Ketua Dewan Pembina APTISI Marzuki Alie juga menilai keberadaan Komite Nasional Uji Kompetensi telah banyak ditemukan kejanggalan terutama menyangkut pengelolaan keuangan. Karena itu hal ini perlu diawasi dengan ketat.
“Masalah uji kompetensi itu jelas melanggar undang-undang. Kalau terkait uji kompetensi, saya sarankan nanti sampai ke kejaksaan karena itu betul-betul memungut uang rakyat,” ujarnya.

Baca Juga :  Kemendikbud Tidak Paksa Sekolah Gelar UNBK

Sementara itu, anggota Komisi X DPR RI Desy Ratnasari mengapresiasi masukan yang disampaikan oleh Dewan Pembina APTISI Marzuki Alie. Menurutnya, hal ini perlu untuk ditinjau kembali karena terjadinya kontradiksi dengan amanat Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional maupun UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.
“Saya sangat senang sekali dengan ‘peluru’ yang disampaikan oleh Pak Marzuki terkait dengan pelanggaran undang-undang, ini menjadi sebuah hal tegas yang harus disampaikan oleh Komisi X kepada Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek). Jangan sampai suka terjadi kontradiksi atau ketidak istiqomahan dalam mengartikan amanat undang-undang,” ucap politisi PAN itu.

Desy juga menyebutkan, revisi UU Sisdiknas dan UU Guru dan Dosen adalah suatu keniscayaan, yang mana hal ini diharapkan bisa menjawab keluhan PTS di Indonesia soal sulitnya mereka berkembang.
“Karena tidak hanya peta jalannya saja yang diperbaiki, tapi juga undang-undang sebagai payung hukumnya. Ini menjadi suatu hal yang krusial untuk kita bicarakan tidak hanya pada Komisi X tapi juga paralel penegakan legislasi di Badan Legislasi,” ujar Legislator dapil Jawa Barat IV itu.

Dalam kesimpulan keputusan RDPU, Ketua Komisi X DPR Syaiful Huda menyatakan Komisi X DPR RI akan menindaklanjuti aspirasi dan usulan yang disampaikan Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI) kepada Kemendikbud Ristek RI dalam pengambilan kebijakan terkait pengembangan Perguruan Tinggi Swasta (PTS) di Indonesia, di antaranya untuk mengembalikan uji kompetensi kepada perguruan tinggi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.(rl)

Komentar Anda