13 Anggota DPRD NTB Berpendidikan SMA

DPRD NTB
Suasana rapat anggota DPRD NTB. (dok/radar lombok)

MATARAM – Sebanyak 65 anggota DPRD Provinsi NTB periodeĀ 2019-2024, telah dilantik pada hari Senin (2/9). Latar belakang dan tingkat sumber daya manusia (SDM) puluhan anggota DPRD Provinsi NTB tersebut berbeda-beda antara yang satu dengan lainnya.

Dilihat dari pendidikan para wakil rakyat tersebut, belasan orang tamatan SMA, puluhan orang sarjana dan hanya satu orang yang bergelar doktor. “Dari 65 anggota DPRD NTB yang dilantik kemarin, sekitar 20 persen atau 13 orang berpendidikan SMA,” terang Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi NTB, Suhardi Soud kepada Radar Lombok di kantornya, Selasa (3/9).

Suhardi tidak ingin menyebut nama-nama anggota DPRD Provinsi NTB periodeĀ 2019-2024Ā yang pendidikannya sekolah menengah atas (SMA). Mantan aktivis mahasiswa ini hanya berkenan menyampaikan jumlahnya saja. Selanjutnya untuk pendidikan sarjana strata satu (S1), paling mendominasi mencapai 52 persen atau 34 orang. Kemudian anggota dewan yang berpendidikan S2 sebanyak 26 persen atau 17 orang. “Yang bergelar S3 atau doktor, hanya satu orang,” bebernya.

Berdasarkan data KPU Provinsi NTB, hanya satu orang anggota DPRD NTB dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang memiliki gelar doktor. Dialah Dr Drs TGH Hazmi Hamzar SH MH yang sudah beberapa periode di DPRD NTB dari daerah pemilihan (dapil) NTB III atau Lombok Timur bagian utara.

Suhardi juga menyampaikan, dari 65 anggota DPRD NTB periodeĀ 2019-2024, sebanyak 35 persen atau 23 orang merupakan wajah lama. Sedangkan 65 persen atau 42 orang merupakan pendatang baru di gedung Udayana. “Untuk keterwakilan perempuan, hanya buk Isvie Ruvaeda saja yang terpilih. Sendirian beliau perempuan,” kata Suhardi.

Lalu bagaimana dengan background profesi para wakil rakyat tersebut. Suhardi enggan membeberkan profesi para wakil rakyat tersebut sebelum menjadi wakil rakyat. Dalam kesempatan tersebut, Suhardi tidak lupa memastikan bahwa seluruh anggota dewan yang dilantik, telah menyampaikan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN). “Tapi kami di KPU tidak tahu siapa yang paling kaya atau siapa yang paling sedikit hartanya. Karena kami disini hanya diberikan tanda terima yang dari KPK saja,” ujarnya.

Tanda terima yang dimaksud, sebagai bukti anggota dewan terpilih telah menyampaikan LHKPN. Mengingat, salah satu syarat pelantikan, yaitu telah melaksanakan kewajiban LHKPN. “Dan semua sudah menyampaikan LHKPN tepat waktu, tapi gak kita tahu berapa kekayaannya. Itu nanti KPK yang umumkan,” kata Suhardi Soud.

Radar Lombok kemudian meminta biodata lengkap 65 anggota DPRD NTB periodeĀ 2019-2024Ā ke pihak sekretariat. Namun sayangnya, hingga saat ini belum diterima. “Lengkapnya di KPU, karena persyaratan pencalonan ada di KPU. Yang ada di DPRD, hanya SK pengangkatan saja. Jadi kita cuma tahu nama dan perolehan suaranya,” ucap Mahdi.

Untuk mengetahui tingkat pendidikan anggota DPRD, menurut Mahdi tidak sulit. Hal itu terbaca dari nama dan gelar yang ada dalam SK. “Kalau ada 13 orang yang berpendidikan SMA, lihat saja di nama-nama itu. Siapa yang tidak ada gelar sarjananya, kemungkinan itu yang pendidikan SMA,” saran Mahdi.

Terpisah, Ketua DPRD Provinsi NTB Hj Baiq Isvie Ruvaeda menginginkan agar para wakil rakyat yang terpilih mau meningkatkan kemampuannya. Mengingat, untuk mengatasi masalah rakyat dan daerah membutuhkan wawasan yang luas. Oleh karena itu, Isvie mengajak semua anggota dewan untuk tidak malas meningkatkan kualitas diri. “Setiap anggota dewan dituntut penuh untuk meningkatkan wawasan dan kapasitas personal, demi bisa menjawab perkembangan zaman dan dinamika yang ada,” katanya.

Persoalan yang terjadi selama ini, dari 65 anggota DPRD NTB, hanya sebagian kecil yang memahami fungsinya. Sementara sisanya, banyak yang sekedar datang, duduk dan diam di gedung wakil rakyat. Mereka sibuk mengurus dana aspirasi saja tanpa peduli dengan persoalan daerah.

Akademisi dari Universitas Islam Negeri (UIN) Mataram, Agus menilai, selama ini terjadi ketidakseimbangan antara politik dan administrasi dalam pemerintahan daerah. “Peran administrasi masih jauh lebih kuat dibandingkan politik. Artinya, peran eksekutifĀ  atau gubernur bersama birokrasi masih jauh lebih dominan dan lebih kuat dibandingkan peran DPRD,” ucapnya.

Seharusnya, lanjut Agus, peran eksekutif dan legislatif bisa seimbang. “Karena DPRD adalah pengambil kebijakan, dan gubernur bersama OPD adalah pelaksana kebijakan. Pertanyaannya kenapa DPRD kalah kuat oleh birokrasi? Ini karena kapasitas SDM DPRD kita yang masih lemah,” tegasnya.

Potret anggota DPRD NTB periodeĀ 2014-2019, hanya sebagian kecil yang berperan. Hal itu tidak lepas dari kualitas SDM anggota DPRD itu sendiri. “SDM yang lemah menyebabkan mereka miskin ide atau gagasan dalam membuat kebijakan di daerah. Indikatornya, bandingkan saja perda yang lahir dari inisiatif DPRD dan dari usulan eksekutif,” terang Agus. (zwr)

Komentar Anda